Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) Jerussalam dapat dikuasai oleh kaum muslimin dengan suatu penyerahan kuasa secara damai. Sayidina Umar sendiri datang ke Jerussalem untuk menerima penyerahan kota Suci itu atas desakan dan persetujuan Uskup Agung Sophronius.
Berabad abad lamanya kota itu berada di bawah ajaran Islam, tapi penduduknya bebas memeluk agama dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada gangguan. Orang-orang Kristen dari seluruh dunia bebas datang untuk mengerjakan ibadah di kota Suci itu dan mengerjakan upacara keagamaannya. Orang-orang Kristen dari Eropa datang mengerjakan ibadah dalam jumlah rombongan yang besar dengan membawa obor dan pedang seperti tentara. Sebagian dari mereka memainkan pedang dengan dikelilingi pasukan gendang dan seruling diiringi oleh pasukan bersenjata lengkap.
Sebelum Jerussalem dikuasai Kerajaan Seljuk pada tahun 1070, upacara seperti itu dibiarkan saja oleh umat Islam, kerana dasar toleransi agama. Setelah Kerajaan Seljuk memerintah, upacara seperti itu dilarang dengan alasan keselamatan. Mungkin kerana upacara tersebut semakin berbahaya. Terebih rombongan yang melaksanakan upacara itu sering menyebabkan kegaduhan dan huruhara. Disebutkan bahwa pada tahun 1064 ketua Uskup memimpin pasukan sebanyak 7000 orang jemaah yang terdiri dari Baron-baron dan para pahlawan telah menyerang orang-orang Arab dan orang-orang Turki.
Tindakan Seljuk itu menjadi kesalahpahaman dengan orang-orang Eropa. Pemimpin-pemimpin agama mereka menganggap bahwa kebebasan agamanya diganggu oleh orang-orang Islam dan merekan menyeru agar Tanah Suci itu dibebaskan dari genggaman umat Islam. Patriach Ermite adalah tokoh yang paling lantang membangkitkan kemarahan umat Kristen. Dalam usahanya untuk menarik simpati umat Kristen, Ermite berkeliling Eropa dengan mengenderai seekor keledai sambil memikul kayu Salib besar, berkaki ayam dan berpakaian compang camping. Dia berpidato di hadapan orang-orang di dalam gereja, di jalan-jalan raya atau di pasar-pasar. Katanya, dia melihat pelecehan kesucian ke atas makam Nabi Isa oleh Kerajaan Turki Seljuk. Diceritakan bahwa penganut Kristen telah dihina, dizalimi dan dinista oleh orang-orang Islam di Jerussalem. Bersama dengan itu, dia mengajak orang-orang agar bangkit berperang untuk membebaskan Jerussalem dari tangan orang Islam. Hasutan Ermite pun berhasil.
Paus Urbanus II mengumumkan ampunan seluruh dosa bagi yang bersedia dengan suka rela mengikuti Perang Suci itu, walaupun sebelumnya dia merupakan seorang perompak, pembunuh, pencuri dan sebagainya. Maka keluarlah ribuan umat Kristen memikul senjata untuk mengikuti perang. Pasukan ini diperintahkan untuk meletakkan tanda Salib di badannya, oleh kerana itulah perang ini disebut Perang Salib.
Paus Urbanus menetapkan keberangkatan tentera Salib menuju Timur Tengah pada tanggal 15 Ogos 1095, tapi kalangan awam tidak sabar menunggu lebih lama karena dijanjikan dengan berbagai kebebasan, kemewahan dan ampunan. Mereka mendesak Patriach Ermite agar berangkat memimpin mereka. Maka Ermite pun berangkat dengan 60,000 orang pasukan, kemudian disusul oleh kaum tani dari Jerman seramai 20.000, datang lagi 200,000 orang menjadikan jumlah keseluruhannya 300,000 orang lelaki dan perempuan. Sepanjang perjalanan, mereka di izinkan merampok, memperkosa, berzina dan mabuk-mabukan. Setiap penduduk negeri yang dilaluinya, selalu mengelu-elukan dan memberikan bantuan seperlunya.
Akan tetapi sesampainya di Hongaria dan Bulgaria, sambutan yang mereka terima sangat dingin, hal itu menyebabkan pasukan Salib yang sudah kekurangan makanan ini marah dan merampas harta benda penduduk. Penduduk di dua negeri ini tidak tinggal diam. Walau pun mereka sama-sama beragama Kristen, namun mereka tidak senang dan melawan. Terjadilah pertempuran sengit dan pembunuhan yang mengerikan. Dari 300,000 orang pasukan Salib itu hanya 7000 sahaja yang selamat sampai di Semenanjung Thracia di bawah pimpinan sang Rahib.
Ketika pasukan Salib telah mendarat di pantai Asia kecil, pasukan kaum Muslimin yang di pimpin oleh Sultan Kalij Arselan telah menyambutnya dengan ayunan pedang. Maka terjadilah pertempuran sengit antara kaum Salib dengan pasukan Islam yang berakhir dengan hancur binasanya seluruh pasukan Salib itu.
Setelah pasukan tersebut musnah sama sekali, munculah pasukan Salib yang dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Lorraine Perancis, Bohemund dari Normandy dan Raymond dari Toulouse. Mereka berkumpul di Konstantinopel dengan kekuatan 150,000 pasukan, mereka kemudian menyeberang selat Bosfur dan memasuki wilayah Islam bagaikan air bah. Pasukan kaum Muslimin yang hanya berkekuatan 50,000 orang bertahan mati-matian di bawah pimpinan Sultan Kalij Arselan.
Satu persatu kota dan Benteng kaum Muslimin jatuh ke tangan kaum Salib, memaksa Kalij Arselan mundur dari satu benteng ke benteng yang lain sambil menyusun kekuatan dan taktik baru. Bala bantuan kaum Salib datang berbondong-bondong dari negara-negara Eropa. Sedangkan Kalij Arselan tidak dapat mengharapkan bantuan dari wilayah-wilayah Islam yang lain, kerana mereka sibuk dengan kemelut negeri masing-masing.
Setelah terjadi pertempuran sekian lama, akhirnya kaum Salib dapat mengepung Baitul Maqdis, tapi penduduk kota Suci itu tidak menyerah kalah begitu saja. Mereka telah berjuang dengan jiwa raga mempertahankan kota Suci itu selama satu bulan. Akhirnya pada 15 Julai 1099, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib, tercapailah cita-cita mereka. Berlakulah keganasan luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Kaum kafir Kristian itu menyembelih muslim laki-laki, perempuan dan anak-anak dengan sangat ganasnya. Mereka juga membantai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang enggan bergabung dengan kaum Salib. Keganasan kaum Salib Kristian yang sangat keterlaluan itu dikutuk oleh para saksi dan penulis sejarah yang terdiri dari berbagai agama dan bangsa.
Seorang ahli sejarah Perancis, Michaud berkata: "Pada saat penaklukan Jerussalem oleh orang Kristen tahun 1099, orang-orang Islam dibantai di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem tidak punya tempat lagi bagi orang-orang yang kalah itu. Beberapa orang mencoba mengelak dari kematian dengan cara bersembunyi di benteng, berkerumun di istana dan berbagai menara untuk mencari perlindungan terutama di masjid-masjid. Namun mereka tetap tidak dapat menyembunyikan diri dari pengejaran orang-orang Kristen itu.
Tentera Salib mendatangi Masjid Umar, di mana orang-orang Islam mencoba mempertahankan diri selama beberapa lama menambahkan lagi adegan-adegan yang mengerikan yang menodai penaklukan Titus. Tentara infanteri dan kaveleri lari tunggang langgang di antara para buruan. Di tengah huru-hara yang mengerikan itu yang terdengar hanya rintihan dan jeritan kematian. Orang-orang yang menang itu menginjak-injak tumpukan mayat ketika mereka lari mengejar orang yang menyelamatkan diri dengan sia-sia.
Raymond dAgiles, yang menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri mengatakan: "Di bawah serambi masjid yang melengkung itu, genangan darah dalamnya menyentuh lutut dan mencapai tali kekang kuda."
Michaud berkata: "Semua yang lolos dari pembantaian pertama, dan yang ditahan untuk mendapatkan upeti, dibantai dengan kejam. Orang-orang Islam itu dipaksa terjun dari puncak menara dan atap-atap rumah, dibakar hidup - hidup , diseret dari tempat persembunyian bawah tanah, diseret di hadapan umum dan dibunuh di tiang gantungan.
Air mata wanita, tangisan anak-anak, pemandangan di tempat Yesus Kristus memberikan ampun kepada para algojonya, sama sekali tidak dapat meredakan nafsu membunuh orang-orang yang menang itu. Penyembelihan itu berlangsung selama seminggu. Beberapa orang yang berhasil melarikan diri, dibunuh atau disiksa dengan kerja paksa yang mengerikan."
Gustav Le Bon menggambarkan penyembelihan kaum Salib Kristian dengan kata-katanya: "Kaum Salib yang "bertakwa" itu melakukan berbagai bentuk kezaliman, kerusakan dan penganiayaan, mereka mengadakan suatu mufakat yang memutuskan supaya dibunuh saja semua penduduk Baitul Maqdis yang terdiri dari kaum Muslimin dan bangsa Yahudi serta orang-orang Kristen yang tidak memberikan bantuan pada mereka yang jumlahnya mencapai 60,000 orang. Orang-orang itu dibunuh dalam waktu 8 hari saja termasuk perempuan, anak-anak dan orang tua, tidak seorang pun terkecuali.
Ahli sejarah Kristen yang lain, Mill, mengatakan: "Saat itu diputuskan bahawa rasa kasihan tidak boleh diperlihatkan terhadap kaum Muslimin. Orang-orang yang kalah itu diseret ke tempat-tempat umum dan dibunuh. Kaum wanita yang sedang menyusu, anak-anak gadis dan anak-anak lelaki dibantai dengan kejam. Tanah padang, jalan-jalan, dan tempat-tempat yang tidak berpenghuni di Jerusssalem ditaburi oleh mayat-mayat wanita dan lelaki, dan tubuh anak-anak yang terkoyak. Tidak ada hati yang lebur dalam keharuan atau yang tergerak untuk berbuat kebaikan melihat peristiwa mengerikan itu."
Jatuhnya kota Suci Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib telah mengejutkan para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci yang telah dikuasainya selama lebih 500 tahun itu terlepas dalam sekejap mata. Mereka sadar akan kesalahan mereka kerana berpecah belah. Para ulama telah berembug dengan para Sultan, Amir dan Khalifah agar menindaklanjuti perkara ini.
Usaha mereka berhasil. Semua pemimpin negara Islam itu bersedia bergabung untuk merebut kembali kota Suci Baitul Maqdis. Di antara pemimpin yang paling gigih dalam usaha mengusir tentera Salib itu ialah Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya Amir Nuruddin Zanki dengan dibantu oleh panglima Asasuddin Syirkuh.
Setelah hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin Al-Ayyubi baru lahir ke dunia. Keluarga Shalahuddin taat beragama dan berjiwa pahlawan. Ayahnya, Najmuddin Ayyub adalah seorang yang termasyhur dan beliau pulalah yang memberikan pendidikan awal kepada Shalahuddin. Sholahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Takrit Irak pada tahun 532 Hijrah /1138 Masihi dan wafat pada tahun 589 H/1193 M di Damsyik. Sholahuddin terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, yaitu Nuruddin Zangi.
Selain belajar Islam, Sholahuddin pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. Kekhalifahan. Bersama dengan pamannya Sholahuddin menguasai Mesir, dan menggantikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimiah (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).
Pada tahun 549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tenteranya merebut dan menguasai Damsyik. Shalahuddin yang ketika itu baru berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang. Pada tahun 558 H/1163 Masehi, panglima Asasuddin membawa Shalahuddin Al-Ayyubi yang ketika itu berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir yang diperintah oleh Aliran Syiah Ismailiyah yang semakin lemah. Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Wazir besar Shawar merasa iri melihat Syirkuh semakin popular di kalangan istana dan rakyat.
Dengan sembunyi-sembunyi dia pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari pasukan Salib untuk mengusir Syirkuh dari di Mesir. Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric dari Jerussalem menerima baik sambutan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin dengan King Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin dan Shalahuddin diperbolehkan kembali ke Damsyik.
Kerjasama Wazir besar Shawar dengan orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan Amir Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu dipersiapkanlah tentera yang dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar. King Almeric segera menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemaraan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ini bertindak lebih matang dan berhasil membinasakan pasukan King Almeric dan mengusirnya dari bumi Mesir.
Panglima Shirkuh dan Shalahuddin kemudian menuju ke ibu kota Kaherah dan mendapat tentangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Khalifah Al-Adhid Lidinillah terpaksa menerima dan menyambut kedatangan panglima Syirkuh untuk kedua kalinya.
Suatu hari panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berziarah ke makam seorang wali Allah di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar bersembunyi di situ. Shalahuddin segera menangkap Shawar, dibawa ke istana dan kemudian dihukum mati.
Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir Baru itu memperbaiki setiap institusi kerajaan secara bertahap. Sementara panglima Shalahuddin Al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya membersihkan di kota-kota sepanjang sungai Nil sampai Assuan di sebelah utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah.
Wazir Besar Syirkuh tidak lama memegang jabatannya, kerana beliau wafat pada tahun 565 H/1169 M. Khalifah Al-Adhid melantik panglima Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi Wazir Besar menggantikan Syirkuh dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Turki. Walaupun berada di bawah Khalifah Daulat Fatimiah, Shalahuddin tetap menganggap Amir Nuruddin Zanki sebagai atasannya.
Nuruddin Zanki berulang kali mendesak Shahalahuddin agar menangkap Khalifah Al-Adhid dan mengakhiri kekuasaan Daulat Fatimiah untuk diserahkan kepada Daulat Abbasiah di Baghdad. Akan tetapi Shalahuddin tidak mau bertindak terburu-buru, beliau memperhatikan keadaan sekelilingnya sehingga musuh-musuh dalam selimut betul-betul lumpuh.
Barulah pada tahun 567 H/1171 M, Shalahuddin mengumumkan berakhirnya Daulat Fatimiah dan kekuasaan diserahkan kepada Daulat Abbasiah. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada khutbah Jumat hari itu telah ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiah.
Ketika pengumuman peralihan kuasa itu dibuat, Khalifah Al-Adhid sedang sakit berat, sehingga beliau tidak mengetahui perubahan besar yang terjadi di dalam negerinya dan tidak mendengar bahwa Khatib Jumat sudah tidak mendoakan dirinya lagi. Sehari selepas pengumuman itu, Khalifah Al-Adhid wafat dan dikebumikan sebagaimana kedudukan sebelumnya, yakni sebagai Khalifah.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yang dikuasai oleh kaum Syiah selama 270 tahun. Keadaan ini memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam terlebih lagi di Mesir sendiri. Apalagi setelah Wazir Besar Shawar berkomplot dengan kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, terutama di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Amir Nuruddin Zanki.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang dengan kebijaksanaan dan kepintarannya telah mengubah kekuasaan itu secara aman dan damai. Bersamaan dengan itu , Wazir Besar Shalahuddin Al-Ayyubi meresmikan Universitas Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan Syiah menjadi pusat pendidikan Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga Allah membalas jasa-jasa Shalahuddin.
Walaupun sangat pintar dan bijaksana mengatur strategi dan berani di medan tempur, Shalahuddin berhati lembut, tidak mau menipu atasan demi kekuasaan dunia. Beliau tetap setia pada atasannya, tidak mau menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Kerana apa yang dikerjakannya selama ini hanyalah mencari peluang untuk mengusir tentera Salib dari bumi Jerussalem. Untuk tujuan ini, beliau berusaha menyatu padukan wilayah-wilyah Islam terlebih dahulu, kemudian menghapuskan para pengkhianat agama dan negara agar peristiwa Wazir Besar Shawar tidak berulang lagi.
Di Mesir, beliau telah berkuasa penuh, tapi masih tetap taat pada kepimpinan Nuruddin Zanki dan Khalifah di Baghdad. Tahun 1173 M, Amir Nuruddin Zanki wafat dan digantikan oleh puteranya Ismail yang ketika itu baru berusia 11 tahun dan bergelar Mulk al Shalih. Para ulama dan pembesar menginginkan agar Amir Salahudin mengambil alih kekuasaan kerana tidak suka kepada Mulk al-Shalih karena tidak bisa melaksanakan tanggungjawabnya dan suka bersenang-senang. Akan tetapi Shalahuddin tetap taat dan mendoakan Mulk al Saleh dalam setiap khutbah Jumat, bahkan mengabadikannya pada mata wang syiling.
Ketika Damsyik terancam oleh serangan kaum Salib, Shalahudin menggerakkan pasukannya ke Syiria untuk mempertahankan kota itu. Tidak lama kemudian Ismail wafat, maka Shalahuddin menyatukan Syria dengan Mesir dan mendirikan Kerajaan Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai Amirnya yang pertama. Tak lama kemudian, Sultan Shalahuddin dapat menyatukan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar. Negara di Afirka yang telah diduduki oleh askar Salib dari Normandy, juga dapat direbutnya dalam masa yang singkat. Dengan ini kekuasaan Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan tenteranya cukup kuat untuk mengusir tentera kafir Kristen yang menduduki Baitul Maqdis selama berpuluh-tahun.
Sifatnya yang lemah lembut, zuhud, wara dan sederhana membuat kaum Muslimin di bawah kekuasaannya sangat mencintainya. Demikian juga para ulama sentiasa mendoakannya agar cita-cita sucinya untuk merebut kembali Tanah Suci berhasil dengan segera.
Setelah merasa cukup kuat, Sultan Shalahuddin memusatkan perhatiannya untuk memusnahkan tentera Salib yang menduduki Baitul Maqdis dan merebut kota Suci itu. Banyak rintangan yang dialami oleh Sultan sebelum tujuannya tercapai. Siasat yang pertama dijalankannya adalah mengajak tentera Salib untuk berdamai. Pada awalnya, kaum Salib mengira bahwa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong. Sultan sudah memprediksi bahwa orang-orang kafir Kristen itu akan mengkhianati perjanjian, maka ini akan dijadikan alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan berikutnya. Untuk ini, beliau telah membuat persiapan secukupnya.
Ternyata memang benar, baru sebentar perjanjian ditandatangani, kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. Maka Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan, tapi kali ini masih gagal dan beliau sendiri hampir tertawan. Beliau kembali ke markasnya dan menyusun kekuatan yang lebih besar.
Suatu kejadian yang mengejutkan Sultan dalam suasana perdamaian adalah tindakan seorang panglima Salib Count Rainald de Chatillon yang bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald dan sisa pasukannya balik ke Jerussalem. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan satu rombongan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin. Tanpa berfikir panjang, Count dan pasukannya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka termasuk saudara perempuan Shalahuddin. Dengan angkuh Count berkata: "Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan mereka?"
Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri melapor kepada Sultan apa yang telah terjadi. Sultan sangat marah terhadap pelanggaran gencatan senjata itu dan mengirim utusan ke Jerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawapan. Akibat kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum Salib yang sering mengkhianati perjanjian itu. Terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dengan Perang Hittin.
Dalam pertempuran ini, Shalahuddin menang besar. Pasukan musuh yang berjumlah 45,000 orang hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. Semuanya diangkut ke Damaskus. Count Rainald yang telah menawan saudara perempuan Sultan dan menghina Nabi Muhammad itu digiring ke hadapan beliau.
"Nah, bagaimana menurutmu sekarang? Apakah saya tidak cukup menjadi pengganti Nabi Besar Muhammad untuk melakukan pembalasan terhadap berbagai penghinaan yang kau lakukan itu?" tanya Sultan Shalahuddin.
Shalahuddin mengajak Count agar masuk Islam, tapi dia tidak mau. Maka dia pun dihukum mati kerana telah menghina Nabi Muhammad.
Setelah melalui berbagai peperangan dan menaklukkan berbagai benteng dan kota, sampailah Sultan Shalahuddin pada tujuan utamanya yaitu merebut Baitul Maqdis. Kini beliau mengepung Jerussalem selama empat puluh hari membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan kebutuhan dasar. Waktu itu Jerussalem dipenuhi oleh kaum pelarian dan orang-orang yang selamat dalam perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60,000 orang.
Pada mulanya Sultan menyerukan agar kota Suci itu diserahkan secara damai. Beliau tidak ingin bertindak seperti yang dilakukan oleh Godfrey dan orang-orangnya pada tahun 1099 untuk membalas dendam. Akan tetapi pihak Kristen telah menolak tawaran baik dari Sultan, bahkan mereka mengangkat Komandan Perang untuk mempertahankan kota itu. Kerana mereka menolak seruan, Sultan Shalahuddin pun bersumpah akan membunuh semua orang Kristen di dalam kota itu sebagai membalas dendam ke atas peristiwa 90 tahun yang lalu. Mulailah pasukan kaum Muslimin melancarkan serangan ke atas kota itu dengan anak panah.
Kaum Salib membalas serangan itu dari dalam benteng. Setelah berlangsung serangan selama empat belas hari, kaum Salib melihat bahawa pintu benteng hampir hancur karena serangan kaum Muslimin. Para pemimpin kaum Salib mulai merasa takut melihat kegigihan dan kekuatan pasukan Muslim yang hanya tinggal menunggu masa untuk masuk. Beberapa pemimpin Kristen telah keluar menemui Sultan Shalahuddin menyatakan hasratnya untuk menyerahkan kota Suci secara aman dan minta agar nyawa mereka diselamatkan.
Akan tetapi Sultan menolak sambil berkata: "Aku tidak akan menaklukkan kota ini kecuali dengan kekerasan sebagaimana kamu dahulu menaklukannya dengan kekerasan. Aku tidak akan membiarkan seorang Kristen pun melainkan akan kubunuh sebagaimana engkau membunuh semua kaum Muslimin di dalam kota ini dahulu."
Setelah usaha diplomatik mereka tidak berhasil, Datuk Bandar Jerussalem sendiri datang menghadap Sultan dengan merendah diri dan minta dikasihani, memujuk dan merayu dengan segala cara. Sultan Shalahuddin tidak menjawabnya.
Akhirnya ketua Kristen itu berkata: "Jika tuan tidak mau berdamai dengan kami, kami akan balik dan membunuh semua tahanan (terdiri dari kaum Muslimin sebanyak 4000 orang) yang ada pada kami. Kami juga akan membunuh anak cucu kami dan perempuan-perempuan kami. Setelah itu kami akan binasakan rumah-rumah dan bangunan-bangunan, semua harta dan perhiasan yang ada pada kami akan dibakar. Kami juga akan memusnahkan Kubah Shahra, kami akan hancurkan semua yang ada sehingga tidak ada apa-apa yang bisa dimanfaatkan lagi. Selepas itu, kami akan keluar untuk berperang mati-matian, kerana sudah tidak ada apa-apa lagi yang kami harapkan selepas ini. Tidak seorang pun bisa membunuh kami sehingga pasukan tuan terbunuh terlebih dahulu. Nah, jika demikian keadaannya, kebaikan apalagi yang bisa tuan harapkan?"
Setelah mendengar kata-kata nekat itu, Sultan Shalahuddin menjadi lembut dan kasihan dan bersedia untuk memberikan keamanan. Beliau meminta nasihat para ulama yang mendampinginya mengenai sumpah berat yang telah diucapkannya. Para ulama mengatakan bahawa beliau mesti menebus sumpahnya dengan membayar Kifarat sebagaimana yang telah disyariatkan.
Maka berlangsunglah penyerahan kota secara aman dengan syarat setiap penduduk harus membayar uang tebusan. Bagi laki-laki wajib membayar sepuluh dinar, perempuan lima dinar dan anak-anak dua dinar saja. Barangsiapa yang tidak mampu membayar tebusan, akan menjadi tawanan kaum Muslimin dan berkedudukan sebagai hamba. Semua rumah, senjata dan alat-alat peperangan lainnya harus ditinggalkan untuk kaum Muslimin. Mereka boleh pergi ke tempat manapun yang aman untuk mereka. Mereka diberi waktu selama empat puluh hari untuk memenuhi syarat-syaratnya, dan Barangsiapa yang tidak sanggup memenuhinya sehingga lewat dari waktu itu, ia akan menjadi tawanan. Ternyata ada 16,000 orang Kristen yang tidak sanggup membayar uang tebusan. Mereka pun ditahan sebagai hamba.
Maka pada hari Jumat 27 Rajab 583 Hijrah, Sultan Shalahuddin bersama kaum Muslimin memasuki Baitul Maqdis. Mereka mengucapkan "Allahu Akbar" dan bersyukur kehadirat Allah s.w.t. Air mata kegembiraan menetes di setiap pipi kaum Muslimin ketika memasuki kota itu. Para ulama datang mengucapkan selamat kepada Sultan Shalahuddin karena perjuangannya telah berhasil.
Apalagi tanggal tersebut bersamaan dengan tanggal Isra Nabi S.A.W dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Pada hari Jumat tersebut, kaum Muslimin tidak sempat melaksankan solat Jumaat di Masjidil Aqsa kerana sempitnya waktu. Mereka terpaksa membersihkan Masjid Suci itu dari babi, kayu-kayu salib, gambar-gambar rahib dan patung-patung yang disembah oleh kaum Kristen. Barulah pada Jumat berikutnya mereka melaksanakan solat Jumaat di Masjidil Aqsa buat pertama kalinya dalam masa 92 tahun. Kadi Muhyiddin bin Muhammad bin Ali bin Zaki menjadi khatib atas izin Sultan Shalahuddin.
Jatuhnya Jerussalem ke tangan kaum Muslimin telah membuat Eropa marah. Mereka membuat pernyataan yang disebut "Saladin tithe", yakni derma wajib untuk melawan Shalahuddin yang hasilnya digunakan untuk membiayai perang Salib. Dengan angkatan perang yang besar, beberapa raja Eropa berangkat untuk merebut kota Suci itu kembali. Maka terjadilah perang Salib ketiga yang sangat sengit. Namun Shalahuddin masih dapat mempertahankan Jerussalem sehingga perang berakhir. Setahun setelah perang Salib ke tiga itu, Sultan Shalahuddin pulang ke rahmatullah. Semoga Allah mencurahkan rahmat kepadanya, aamiin.
Pribadi Seorang Panglima
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi dikenal sebagai pahlawan dan Panglima Islam yang besar. Pada diri beliau terdapat sifat-sifat berani, wara, zuhud, khusyu, pemurah, pemaaf, tegas dan sifat-sifat terpuji lain. Sifat pemurah dan pemaafnya diakui oleh lawan maupun kawan.
Seorang penulis sejarah mengatakan: "Hari kematiannya merupakan kehilangan besar bagi agama Islam dan kaum Muslimin, kerana mereka tidak pernah menderita sejak kehilangan empat Khalifah yang pertama (Khulafaurrasyidin). Istana, kerajaan dan dunia diliputi oleh wajah-wajah yang tertunduk, seluruh kota terbenam dalam duka cita, dan rakyat mengikuti keranda jenazahnya dengan tangisan dan ratapan."
Sultan Shalahuddin adalah seorang pahlawan yang menghabiskan waktunya dengan bekerja keras siang dan malam untuk Islam. Hidup nya sangat sederhana. Minumnya hanya air putih, makanannya sederhana, pakaiannya dari jenis yang kasar. Beliau sentiasa menjaga waktu-waktu solat dan mengerjakannya secara berjamaah. Dikatakan bahwa sepanjang hayatnya tidak pernah terlepas dari mengerjakan solat jamaah, bahkan ketika sakit yang membawa pada ajalnya, beliau masih tetap mengerjakan solat berjamaah. Ketika imam masuk berdiri di tempatnya, beliau sudah siap di dalam saf. Beliau suka mendengarkan bacaan Al-Quran, Hadits dan ilmu pengetahuan. Dalam bidang Hadits, beliau memang mendengarkannya secara teratur, sehingga beliau banyak mengenal jenis-jenis hadis. Hatinya sangat lembut dan pemurah, sering menangis apabila mendengarkan hadits.
Di dalam buku The Historians History of the World disebutkan sifat-sifat Shalahuddin sebagai berikut: "Keberanian dan keberhasilan Sultan Shalahuddin itu terjelma seluruhnya pada perkembangan keperibadian yang luar biasa. Sama seperti halnya dengan Amir Imamuddin Zanki dan Amir Nuruddin Zanki, beliau juga merupakan seorang Muslim yang taat.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Sultan Shalahuddin membacakan Kitab Suci Al-Quran kepada pasukannya sebelum pertempuran berlangsung. Beliau juga sangat disiplin mengqada setiap puasanya yang tertinggal dan tidak pernah lalai mengerjakan solat lima waktu sampai pada akhir hayatnya. Minumannya tidak lain dari air putih saja, memakai pakaian yang terbuat dari bulu yang kasar, dan mengizinkan dirinya untuk dipanggil ke depan pengadilan. Beliau mengajar sendiri anak-anaknya mengenai agama Islam."
Seluruh kaum Muslimin yang menyaksikan kewafatannya menitiskan air mata karena Sultan yang memimpin negara yang terbentang luas dari Asia hingga ke Afrika itu hanya meninggalkan warisan 1 dinar dan 36 dirham. Tidak meninggalkan emas, tidak punya tanah atau kebun. Padahal beliau memimpin kerajaan berpuluh tahun dan memegang jabatan sebagai panglima perang dan Menteri Besar sebelum mendirikan Kerajaan Ayyubiyah.
Kain yang dipakai untuk kafannya adalah betul-betul dari warisan beliau yang jelas-jelas halal dan sangat sederhana. Anak beliau yang bernama Fadhal ikut masuk ke liang lahat meletakkan jenazah ayahnya. Dikatakan bahwa beliau dikebumikan bersama-sama pedangnya yang dipergunakan dalam setiap peperangan agar dapat menjadi saksi dan dijadikannya tongkat kelak pada hari kiamat. Rahimahullahu anh.
Salahudin Al-Ayubi, beliaulah yang mencontohkan satu konsep dan budaya yaitu perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang kita kenal dengan sebutan maulud atau maulid, berasal dari kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti pada istilah ulang tahun. Berbagai perayaan ulang tahun di kalangan/organisasi muslim sering disebut sebagai milad atau miladiyah, meskipun maksudnya adalah ulang tahun menurut penanggalan kalender Masehi.